Wednesday, September 25, 2013

Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Kegiatan pada Bank Syariah


Fungsi dan Peran DPS dalam perbankan syariah sangat berhubungan kuat dengan  manajemen resiko perbankan syariah, yaitu resiko reputasi, yang memungkinkan adanya dampak pada resiko lainnya, seperti resiko likuiditas. Pelanggaran  syariah complience yang dibiarkan DPS atau luput dari pengawasan DPS, jelas akan merusak citra dan kredibilitas bank syariah di mata masyarakat, sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah yang bersangkutan.Untuk itulah peran DPS di bank syariah harus benar-benar dioptimalkan, kualifikasi menjadi  DPS harus diperketat,   dan formalisasi perannya harus diwujudkan di bank syariah tersebut.

Peranan Dewan Pengawas Syari’ah sangat strategis dalam penerapan prinsip syariah di lembaga perbankan syariah. Menurut Surat Keputusan DSN MUI  No.Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI Masa Bhakti Th. 2000-2005  bahwa DSN memberikan tugas kepada DPS untuk :
(1) Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah,
(2) Mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN
(3) Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran
(4) Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan DSN.

Untuk menjalankan tugas-tugas tersebut, seorang DPH haruslah memenuhi kualifikasi tertentu. Bukan kanya orang yang mengerti ilmu keuangan perbankan namun juga tidak hanya mengerti hokum syar’I seperti ulama dan cendekia muslim pada umumnya. Dengan demikian, seorang DPS harus mengerti dan memahami ekonomi dan sistem perbankan secara hukum, juga hukum-hukum financial melaui berbagai fatwa Syariah.
Namun fakta di lapangan ditemukan bahwa pengangkatan DPS bukan didasarkan pada keilmuannya, maka sudah bisa dipastikan, fungsi pengawasan DPS tidak optimal, akibatnya penyimpangan dan praktek syariah menjadi hal yang mungkin dan sering terjadi.

Harus diakui, bahwa perbankan syariah sangat rentan terhadap kesalahan-kesalahan yang bersifat syar’i. Tuntutan target, tingkat keuntungan yang lebih baik, serta penilaian kinerja pada setiap cabang bank syari’ah, yang masih dominan  didasarkan atas kinerja keuangan, akan dapat mendorong kacab dan praktisi untuk melanggar ketentuan syari’ah. Hal ini akan semakin rentan terjadi pada bank syari’ah dengan tingkat pengawasan syariah yang rendah. Oleh karenanya, tidak heran, jika masih banyak ditemukannya pelanggaran aspek syari’ah yang dilakukan  oleh lembaga-lembaga perbankan syariah, khususnya perbankan yang konversi ke syariah atau membuka unit usaha syariah.

Yang juga mengherankan lagi adalah, sering kali kasus-kasus yang menyimpang dari syariah Islam di bank syari’ah, lebih dahulu diketahui oleh Bank Indonesia daripada oleh DPS, sehingga DPS baru mengetahui adanya penyimpangan syari’ah  setelah mendapat informasi dari Bank Indonesia. Demikianlah lemahnya pengawasan DPS di bank-bank syari’ah. Bank syariah harus menyadari bila mereka sering mengabaikan kepatuhan prinsip syariah, mereka akan menghadapi risiko reputasi (reputation-risk) yang bermuara pada kekecewaan masyarakat dan sekaligus merusak citra lembaga perbankan syari’ah.

Bank Indonesia selalu menyampaikan banyaknya indikasi pelanggaran syari’ah yang dilakukan oleh lembaga perbankan syari’ah dalam praktek operasionalnya. (Bisnis Indonesia, 12/2/04). Deputi Gubernur Bank Indonesia Maulana Ibrahim mengatakan, “Dari indikator pengawasan dan pemeriksaan yang dilaporkan Bank Indonesia, masih ditemui berbagai sistem operasional bank syariah yang belum sesuai dengan prinsip kepatuhan pada nilai-nilai syariah,” . Hal itu diungkapkannya dalam seminar bertajuk Prospek Perbankan Syariah Pasca-Fatwa MUI, di Jakarta, 10 Pebruari 2004.

Melihat fenomena tidak syari’ahnya bank syari’ah tersebut, sampai-sampai Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Wahyu Dwi Agung mengatakan Bank Indonesia seharusnya segera meluruskan pihak manajemen bank syariah terkait. (Bisnis Indonesia, 12/2/04)

Peringatan serupa kembali disampaikan Maulana Ibrahim, dalam Simposium Nasional Ekonomi Islami di Malang yang langsung saya hadiri. Deputi Gubernur BI itu  dalam orasinya ia menuliskan,” Sejak dini Dewan Pengawas Syari’ah (DPS)  dan pengawas bank syari’ah, harus meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bank syari’ah. Hal ini penting  agar bank syari’ah tidak menjadi bank yang bermasalah. Khusus terhadap prinsip-prinsip syari’ah, bankir syari’ah harus sepenuhnya konsisten terhadap penerapan prinsip-prinsip syari’ah, karena umumnya di dunia ini kegagalan bank syari’ah dapat terjadi, karena ketidak-konsistenan dalam menjalankan prinsip syari’ah”.(28/5/05)

Maulana Ibrahim selanjutnya mengatakan, bahwa peran DPS sangat menentukan dalam mengawasi operasi bank syari’ah  agar tetap memenuhi prinsip-prinsip syari’ah. DPS harus secara aktif dan rutin melakukan pengawasan terhadap bank syari’ah.

Secara kasat mata dan dari beberapa diskusi yang dilakukan dengan beberapa praktisi perbankan syariah didapatkan kesimpulan bahwa, tugas dan fungsi yang telah di atur oleh DSN tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Terkadang ada DPS yang mengunjungi Bank Syariah hanya satu kali dalam sebulan, ada juga yang hanya bisa dihubungi via telepon. Karena kesibukan mereka di dunia luar, fungsi-fungsi yang harusnya dijalankan tidak bisa dilaksanakan.

DPS hanya dijadikan sebagai objek pelengkap pada sebuah institusi perbankan syariah sehingga struktur yang telah ada bisa terisi dengan baik. Jika hal ini terus dibiarkan, mau dibawa kemana industri perbankan syariah ini kedepan?.

DPS malas-malasan menerapkan tugas dan fungsinya, sedangkan manajemen bank juga tidak memaksimalkan peran dari DPS. Saya pernah berpikiran cukup ekstrim dengan peran DPS ini, “Apakah honor yang mereka terima dari Bank Syariah bisa mereka ambil walaupun tidak melakukan tugas dengan benar, atau bisa dikatakan mereka memakan gaji buta saja”. Dengan pemahaman tentang agama yang cukup komprehensif seharusnya para DPS bisa mengilhami “Bayarlah upah sebelum keringat tersebut mengering”, apakah mereka pernah mengeluarkan keringat dengan pekerjaan mereka tersebut? (Honor seorang DPS cukup besar, karena posisinya yang berada setara dengan fungsi Komisaris ataupun Dewan Pengawas Bank)
Selain masalah tugas dan peran, DPS juga mempunyai tanggung jawab dan komitmen untuk mengembangkan keuangan syariah tersebut dalam artian luas, baik untuk Bank Syariah yang mereka awasi dan juga untuk pengembangan ekonomi syariah di daerah tersebut.

Sehingga bisa dikatakan bahwa, DPS yang menjabat di sebuah Bank Syariah (yang pada umumnya adalah ulama) minimal menyampaikan materi-materi keuangan syariah dalam setiap dakwah dan pengajian yang dilakukannya. Tapi apa yang terjadi, dari pantauan saya dan beberapa informasi dari rekan-rekan dilapangan, ternyata masih banyak DPS yang kurang menjajakan produk syariah sebagai salah satu jargon dakwahnya.

Kondisi yang terjadi saat ini, kalau ada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang baru berdiri, untuk pemilihan DPSnya pastilah akan merujuk kepada daftar Anggota MUI ataupun Buya-buya Kondang di daerahnya. Apakah hanya itu referensi yang bisa dipakai untuk mencari orang-orang yang akan mengawasi operasional LKS. Saya pikir masih banyak orang-orang yang konsen dengan ekonomi syariah dan benar-benar komit untuk mengembangkan hal tersebut. Akan tetapi mereka dibatasi gerak karena mereka bukanlah seorang ulama atau buya kondang.

Penulis pernah berdiskusi dengan beberapa orang akademisi yang sering menjadi narasumber pada materi yang berkaitan dengan keuangan syariah. Mereka terkadang miris melihat kondisi Perbankan Syariah yang terkesan berjalan tanpa bimbingan maksimal dari DPS, sehingga ada kondisi try and error yang dilakukan guna membentuk sebuah inovasi baru dalam hal dagangan syariah.

Dewan Syariah Nasional sudah seharusnya menertibkan DPS-nya, jangan hanya bisa mengeluarkan Fatwa tapi juga bisa menertibkan orang-orang yang telah mereka tunjuk dan mereka beri sertifikasi sebagai perpanjangan tangannya. Sudah sepatutnya DSN dan DPS berangkulan tangan dengan manajemen Bank Syariah guna menggerakkan perekonomian berbasis Syariah dengan lebih sinergy dan kerjasama yang lebih baik serta kompak.

Perbankan Syariah jangan dijadikan barang jualan, jangan dipolitisasi, dan jangan hanya jadi kebutuhan agama. Akan tetapi jadikanlah Perbankan Syariah sebagai solusi tepat untuk membangun sistem keuangan yang lebih komprehensif dan sebagai sistem keuangan yang bisa memperbaiki kemerosotan perekonomian makro yang ada di Indonesia.

  Sebagaimana disebut di atas, bahwa DPS harus menguasai fiqh mumalah bersama perangkatnya (ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, tafsir dan hadits ekonomi), juga harus menguasai ilmu ekonomi keuangan dan perbankan Islam modern. Tapi kenyataannnya persyaratan tersebut sangat sulit diwujudkan, karena kita kekurangan ulama yang memahami kedua disiplin keilmuan tersebut sekaligus.

 Fenomena itu tidak saja di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Majid Dawood, CEO Yasaar, sebuah lembaga konsultasi untuk DPS, juga mengakui terjadi kekurangan jumlah ulama yang memahami fikih muamalah dan  ekonomi keuangan modern. Seorang DPS bank syariah misalnya,  harus mengetahui konsep dan mekanisme operasional perbankan syari’ah, struktur dan terminologi bank dan LKS, legal documentation, mengatahui dasar-dasar akuntansi sehingga bisa membaca laporan keuangan, dan tentu saja pemahaman yang baik tentang fikih muamalah.

Karena itu Yasaar sebagai lembaga yang khusus menangani shariah board mulai merekrut ulama muda potensial yang menguasai ilmu ekonomi, keuangan. Dengan ilmu yang integral tersebut pengawasan bisa lebih optimal dan mereka bisa merumuskan, menetapkan serta pembuatan fatwa hukum ekonomi syari’ah.

Di Indonesia, ulama muda potensial dapat direkrut di program Doktor Ekonomi Ekonomi Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di berbagai Perguruan Tinggi. Keunggulan mereka ini adalah dikarenakan mereka memiliki dua keahlian keilmuan sekaligus, yaitu  pertama, fiqih mumalah, ushul fiqh, qawaid fiqh serta ayat dan hadits ekonomi dan kedua, mereka juga mengerti tentang praktek perbankan dan LKS yang disertai bekal ilmu ekonomi keuangan modern, sehingga mereka bisa melakukan pengawasan dengan baik, bukan sekedar pajangan kharisma.

No comments:

Post a Comment

Leave a Reply