Wednesday, November 6, 2013

Kapatuhan Syariah dalam Membangun Identifikasi Islamic Brands




Oleh Eka Widiastuti
STEI SEBI
zw.widiansori@gmail.com

Abstrak
Syariah didefinisikan sebagai hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT. Secara umum diungkapkan dalam Al-quran dan Sunah Rasulullah saw. Berbeda dengan fiqh yang menekankan pada hukum praktis untuk menjalankan yang berasal dari interpretasi manusia berdasarkan al-quran dan sunah. Sehingga ketiganya memiliki hubungan yang integral dan tak terpisahkan. Setiap aspek kehidupan manusia tidak dapat lepas dari pedoman Islam tersebut, termasuk dalam hal bisnis dan pemasaran. Makalah ini mendiskusikan bagaimana kepatuhan syariah membantu mengidentifikasi Islamic brand dan meningkatkan reputasinya. Pengembangan merek merupakan bagian dari tantangan bisnis terbesar untuk menciptakan identitas perusahaan dan mengeksplorasi pemasaran merek dalam konsep Islamic branding. Tentunya, hal tersebut akan menyempurnakan model dan praktek bisnis di pasar yang kompetitif saat ini. Islam memiliki seperangkat nilai yang kuat dan mampu membuat identitas dirinya sebagai merek yang kuat, menimbulkan citra yang unik sehingga membangun reputasi yang baik. Makalah ini merujuk pada jurnal penelitian Fatema, et al (2013) dengan judul asli Shari’a Compliance in Building Identified Islamic Brands”, bertujuan untuk mengetahui bagaimana kepatuhan Syariah mampu berkontribusi terhadap membangun indentifikasi Islamic brand dengan citra yang baik dan reputasi.
Kata Kunci: Islamic Branding, Syariah, Halal, citra dan reputasi.
1.      Pendahuluan
Tema “Kepatuhan Syariah dalam membangun identifikasi Islamic Brands”, dipilih sebagai sorotan utama dalam penelitian ini untuk mengetahui praktek pemasaran islami khususnya dalam menawarkan produk kepada umat muslim. Mengapa ini menjadi konsentrasi penting? karena islam merupakan pandangan hidup di dunia maupun akhirat yang penerapannya secara kaffah (sempurna). Keunikan budaya islam justru terletak pada nilai-nilai dan prinsip tersebut. Maka kekuatan Islam terbesar ialah cita-cita, nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mengarah ke sebuah citra yang superior dan reputasi yang baik. Dalam Al-Qur'an Allah SWT. berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin & manusia kecuali untuk menyembah ('ibadah) Ku." (51:56). Menurut ayat tersebut, setiap aktivitas manusia yang sesuai dengan syariah dapat dikatakan sebagai ibadah, sama halnya dengan pemasaran dan pembentukan brand jika sesuai dengan hukum syariah tersebut. Menurut penulis dalam tatanan dunia baru saat ini, Islam menjadi solusi dalam sistem kehidupan di mana masalah manusia dapat diatasi dengan perspektif kebenaran yang berbeda dan dengan cara terbaik untuk mengembangkan keadilan yang manusiawi pada berbagai tingkat eksistensi, individu,  nasional dan internasional. (Maududi, Towards Understanding Islam, 1979)
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan: (1) bagaimana atribut kapatuhan syariah berkontribusi untuk membangun Identitas Islamic brand? , (2) bagaimana hal tersebut dapat membantu dalam pengembangan citra merek dan reputasi? Sistematika penulisan dalam artikel ini sebagai berikut. Pertama, pendahuluan, tujuan utama diikuti dengan penjelasan singkat mengenai metodologi penelitian, tinjauan pustaka, kemudian pembahasan pokok masalah. Akhirnya, artikel ini memberikan kesimpulan, keterbatasan, dan saran.

2.      Metodelogi Penelitian
Studi ini bukan penelitian kuantitatif, melainkan didasarkan pada informasi sekunder dan beberapa pengamatan. Untuk mengetahui konsep Islamic branding dan kepatuhan syariah, penulis mempelajari literatur yang tersedia di bidang yang relevan, berbagai publikasi, Qur'an & Hadist, jurnal dan website. Penelitian ini disusun dengan jelas  sebagai rujukan penelitian di masa yang akan datang.

3.      Tinjauan Pustaka
3.1.Konsep Branding dan Islamic Branding
Merek didefinisikan sebagai nama, istilah, tanda atau desain, atau kombinasi diantaranya yang mengidentifikasi produk atau jasa dari satu penjual atau kelompok dan membedakan mereka dengan pesaingnya (Kotler, 2008, p. 226). Konsumen melihat merek sebagai bagian yang penting dan memberi nilai tambah dalam produk. (Kotler, 2008) Branding berkaitan dengan kemampuan suatu produk atau jasa untuk menciptakan hubungan dengan konsumen, biasanya, melalui jaminan yang menarik. Ringkasan tujuan branding dapat ditemukan di Walter Landor tahun 1964: "Produk dibangun di pabrik, merek tercipta dalam pikiran (Foley, 2010)." Aaker (1996) mengklaim kepedulian akan merek berkontribusi terhadap peningkatan brand equity dengan menciptakan memori untuk memesan kembali, membentuk rasa keakraban, menciptakan sinyal kepercayaan pada merek dan memberikan dasar bagi seseorang untuk mempertimbangkan merek tersebut sebagai pilihan pemenuhan kebutuhannya.
Temporal (2011) menyebutkan bahwa "Islam dapat dianggap sebagai merek tersendiri, dengan citra yang unik. Sebagai branding, islam mengakomodasi segmen besar konsumen Muslim, yang memiliki nilai-nilai bersama, kebutuhan yang sama dan keinginan seluruh dunia. (Temporal, 2011) Bagi umat  muslim, merek 'Islam' merupakan cara hidup, 'Halal' adalah global Islamic brand untuk makanan, sama halnya dengan kata Ramadhan, Haji, Jihad, Zakat, dll. Semua kata yang akrab dengan nilai dan pengalaman mereka sendiri.
Banyak literatur yang menyatakan bahwa agama merupakan elemen fundamental dalam kebudayaan kita dan berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan serta perilaku konsumen. (Bailey dan Sood, 1993; Lupfer dan Wald, 1985; Lupfer et al, 1992;. McDaniel dan Burnett, 1990; Wilkes et al., 1986). Bukti adanya hubungan antara agama dan perilaku dapat ditemukan dalam aktivitas keseharian individu, serta dalam ritual yang langka dan unik. Selain itu, bukti lain hubungan antara agama dan perilaku dapat dilihat dari berbagai bidang yaitu ajaran orang tua, gaya berpakaian, makan, minum, penggunaan kosmetik, pandangan sosial politik dan perilaku lainnya. (Levin, 1979) Maka jelaslah motivasi untuk berpartisipasi dalam pengalaman religi dipengaruhi oleh agama. (Gorlow dan Schroeder, 1968). Swimberghe et al. (2009) menyatakan bahwa kepercayaan agama konsumen beresonansi/sejalan dengan pilihan konsumsi mereka. Jika jumlah konsumen muslim yang peduli akan kepatuhan syariah meningkat, maka pilihan Islamic brand pun juga akan meningkat.


3.2.Apa yang dimaksud dengan kepatuhan syariah?
Syariah berasal dari bahasa arab, mengacu pada hukum dan cara hidup yang ditentukakn oleh Allah SWT bagi hamba-Nya. Syariah ini meliputi ideologi dan keyakinan, perilaku dan tata krama, dan hal-hal praktis sehari-hari, termasuk salah satunya adalah pemasaran. Allah SWT berfirman "…Untuk umat di antara kamu, Kami telah berikan aturan dan jalan yang terang" (Qur'an 5:48). Hubungan dari keyakinan, syariat, dan akhlak dalam membentuk ekonomi islam (termasuk didalamnya ilmu pemasaran) dapat digambarkan sebagai berikut,
Gambar 1.
Triangle Ekonomi Islam






                        Sumber : Adityangga, 2010

Ini menjadi sebuah kewajiban bagi umat muslim untuk mengkonsumsi makanan halal dan menggunakan produk halal, karena mereka tidak semata-mata makan dan menggunakan barang-barang untuk kesenangan, tetapi juga menjalankan tugas, tanggung jawab dan menjalankan misi di dunia ini yaitu beribadah kepada Allah SWT. Karena Islamic branding disinonimkan sebagai kepatuhan akan syariah, maka kebutuhan akan barang halal meningkatkan permintaan konsumen, penjual Muslim dapat memposisikan diri dengan alasan tersebut, sehingga membuat merek mereka berbeda. 
Muslim yang sangat sadar tentang pandangan tentang halal dan haram, memaksa mereka untuk mempertimbangkan merek Islam sebagai pilihan mereka. Ibn al-Ukhuwwah (1938) mengatakan bahwa produk dengan Islamic brand harus halal dan tidak menyebabkan kemudharatan dalam bentuk apapun. Dengan demikian kepuasan tertinggi diperoleh secara spiritual dan fisik. Kepuasan spiritual kaum muslimin dapat diperoleh dengan mengikuti syariah. Contohnya penggunaan produk Islami seperti hijab bagi muslimah yang merupakan identitasnya sebagai orang beriman, membentuk pula citra positif dan reputasi yang baik. Demikian pula, dalam sektor jasa seperti Perbankan Syariah, sebagai sarana untuk mematuhi kepatuhan syariah  menjaihu bunga yang haram bagi umat islam. Tidak hanya umat islam yang harus menggunakan Islamic brand, namun minat dari non-Muslim terhadap produk syariah juga meningkat. Hal ini dikarenakan meningkatnya kesadaran konsumen dan  produk syariah juga menawarkan alternatif yang lebih aman, kesehatan, adil, bersih dan transparan.
3.3.Kepatuhan Syariah dan Islamic Branding
Kepatuhan syariah dan Islamic branding telah sukses memenuhi keinginan khas dan  kredibel dalam mind set konsumen. Pada tingkat yang paling eksklusif, Islam secara tegas menempatkan peraturan pada prinsip Syariah (misalnya dalam sektor pangan dan keuangan). Ada pula merek yang dibuat oleh organisasi-organisasi Islam yang menggunakan Islamic brand dalam hal yang lebih umum (seperti penerbangan atau telekomunikasi).
Karena meningkatnya kesadaran bahwa produk berbasis syariah tidak hanya menawarkan alternatif yang lebih aman, tetapi juga merupakan etika investasi yang adil, bersih dan transparan ("Non Muslim ikut beralih"). Lembaga ini tidak hanya ditujukan untuk menjadi kompeten dalam memenuhi fungsi komersial mereka, tetapi tujuan syariat itu sendiri untuk menegakkan tanggung jawab sosial dalam mempromosikan keadilan dan kewajaran (Dusuki 2008). Merek Islami tidak hanya tentang Halal (diperbolehkan) dan Haram (non-halal) namun didasari oleh niat yang jujur ​​dan tulus yang melampaui konsep branding dalam komersial saja (Alserhan, 2010).
3.3.1.       Atribut Kepatuhan Syariah untuk membangun Identitas Islamic Brands
Menurut sumber dasar hukum Syariah, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, terlihat bahwa Islamic Brand memiliki kekhasan dan fitur unik. Sebagai contoh kekhasan tersebut, dalam firman Allah SWT, "Mereka yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila, yang demikian itu karena mereka berkata jual beli sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (2:275). Dalam Al Qur'an batas-batas halal dan haram jelas disebutkan. Nabi Muhammad saw telah memberikan pedoman mengenai hal yang syubhat (yaitu hal yang belum diketahu halal dan haramnya karena keterbatasan pengetahuan mukhalaf). Hal ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibn Majah dan Darimi, sebagai berikut: "Yang Halal jelas. Dan apa yang Haram juga telah jelas. Dan di antara kedua ada daerah yang meragukan di mana banyak orang tidak tahu. Jadi siapapun menjauhkan diri dari itu, ia telah membebaskan dirinya (dari kesalahan). Dan orang-orang yang jatuh ke dalamnya, ia telah jatuh ke dalam keadaan Haram. "
Ini menunjukkan Islamic brand merupakan merek yang berbeda. Dengan demikian, kepatuhan Syariah menjadi perbedaan yang unik dan melekat pada Islamic brand. Islam juga merupakan agama yang lengkap, tidak memerlukan penambahan apa pun. Dalam surah Al-Maidah, Allah berfirman: "Hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agamamu…." [05:03] Dengan prinsip ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa Islamic brand yang memenuhi ketentuan syariah menjadi merek tersendiri. Hal ini memberikan peluang bagi penjual muslim untuk mempromosikan produknya dan menjunjung tinggi nilai-nilai syariah.
Bagian utama lain yang mengidentifikasi merek adalah Logo. Bagi Islamic Brand "Logo Halal" merupakan hal yang sangat penting. Contohnya Dewan Pengawas Makanan dan Gizi Islam Amerika (IFANCA) menggunakan simbol bulan sabit, yang berarti "baik bagi umat Islam." Logo Halal merupakan otorisasi yang mandiri dan dapat diandalkan untuk mendukung klaim kehalalan produk. Makanan dan minuman yang tersertifikasi halal oleh lembaga organisasi islam yang terkemuka, mudah diterima oleh konsumen Muslim, serta pelanggan dari agama-agama lain.
Selain dengan adanya logo Halal, attribut kepatuhan syariah yang dapat meningkatkan Islamic brand adalah keberadaan dewan pengawas syariah (DPS) . Kewajiban atas keberadaan DPS itu sendiri, khususnya pada institusi keuangan Islam telah diatur oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dalam Governance Standard for Islamic Financial Institutions (GSIFI). Adapun arti penting DPS bagi entitas syariah antara lain (Chariri, 2012) :
1.      Menentukan tingkat kredibilitas entitas syariah.
2.      Unsur utama dalam menciptakan jaminan kepatuhan syariah (sharia compliance assurance).
3.      Salah satu pilar utama dalam pelaksanaan Islamic Corporate Governance.
Idealnya DPS akan mempresentasikan hukum dan prinsip Islam lebih baik dibandingkan dengan manajemen. Farook dan Lanis (2005) menyebutkan bahwa ke-Islam-an para anggota DPS dianggap tanpa cela, sehingga digunakan untuk memastikan kepatuhan syariah perusahaan terhadap hukum dan prinsip Islam.
Dengan demikian, Islam telah mengidentifikasi ketentuan syariah yang wajib ditaati bagi semua umat muslim. Sehingga tidak ada yang dapat menghindari pedoman terebut. Allah SWT berfirman: "Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. "(4:176) Sebuah proses branding yang efektif akan menciptakan identitas unik yang dapat membedakan penjual dari competitor lain. Itulah mengapa hal ini sering dianggap sebagai jantung dari strategi kompetitif (Lake, 2010). Dengan demikian atribut kepatuhan syariah menjadikan Islamic brand berbeda dan memiliki identitas tersendiri.
3.3.2.      Islamic Branding dalam peningkatan Citra dan Reputasi
Menurut ensiklopedia Usaha Kecil, "Citra perusahaan" dahulunya diartikan sebagai slogan iklan tetapi sekarang lebih mengacu pada reputasi perusahaan. Manajemen dengan berbagai cara, aktif mencoba membentuk citra dengan komunikasi, pemilihan merek dan promosi, penggunaan simbol-simbol, serta publikasi. (Ensiklopedia Usaha Kecil, 2007). Unsur-unsur utama dalam pembentukan citra adalah: 1) jenis usaha dan kinerja keuangan perusahaan, 2) reputasi dan kinerja merek ("brand equity"), 3) inovasi, dan sebagainya. (Ensiklopedia Usaha Kecil, 2007) Tentunya, sinergi dari unsur-unsur tersebut dapat ditemukan dalam Islamic brand. Sehingga citra dari merek perusahaan mempengaruhi persepsi kualitas produk dan layanan tambahan, reputasi dan merek tidak dapat dipungkiri lagi , mampu memperkirakan nilai pelanggan dan loyalitas pelanggan terhadap perusahaan. (Woodside, 2010)
Bagaimanapun, berbagai studi dan pengamatan telah menunjukkan bahwa, Islamic branding telah mampu menciptakan citra positif di sektor keuangan dalam perbankan syariah. Perbankan syariah memperoleh popularitas tinggi dan sukses dalam membangun citra dan reputasi jangka panjang. Ini menunjukkan peningkatan citra dan reputasi Islamic brand. Selain itu, ada kepentingan besar untuk mengambil alih tempat di antara perusahaan-perusahaan non-Muslim yang juga ingin menembus pasar global ini, meliputi industri keuangan, makanan dan minuman, kosmetik, kesehatan, farmasi, logistik, pariwisata, fashion, dan lain-lain karena pangsa umat muslim sangat besar. (Nestorovic 2007).
4.      Islamic Brand dan Kesejahteraan Masyarakat
Di tengah dunia modern dengan berbagai macam pilihan barang dan jasa, umat Islam abad ke-21 ini dihadapkan dengan isu Halal secara modern. Para penjual muslim sebaiknya berperan aktif dalam mengurangi kebingungan konsumen Muslim ketika hendak membeli makanan atau menggunakan layanan syariah serta meningkatkan kesadaran dalam membedakan mana yang Halal dan Haram.  Islamic brand dapat membuat langkah baru untuk menyelesaikan masalah ini. Dari model brand equity Brandt dan Johnson, jika kesadaran Halal dan Haram umat muslim meningkat, Islamic brand equity juga akan meningkat. Di tengah masyarakat yang memiliki keimanan kuat, maka Islamic brand equity juga semakin kuat. Kepedulian atas merek dapat disinonimkan sebagai kepedulian akan syariah. Dari penelitian penulis telah menemukan bahwa semakin besar kesadaran syariah di pasar tertentu, akan meningkatkan kepatuhan syariah pula.
Perspektif Islam menggabungkan unsur-unsur moral dan transendental dalam proses pengambilan keputusan produksi dalam pengembangan produk, dan dipandu oleh prinsip-prinsip etika bisnis Islam. Pada akhirnya akan meningkatkan citra di seluruh dunia.  Tujuan utama dari Islamic brand adalah mempromosikan keadilan dan kesejahteraan sosial (al-adl dan al-ihsan) dan rahmat Allah SWT (berkah), dengan tujuan bersama mencapai keberhasilan di dunia dan akhirat (al-falah).  (Haniffa dan Hudaib, 2007) Tentu saja, tidak hanya umat Islam yang tertarik dengan Islamic brand, non-muslim juga tertarik karena keamanan dan kualitas yang terjamin.
5.      Kesimpulan
Dalam berkompetisi merek menjadi kekuatan yang penting, sebagai jaminan kepada konsumen. Islamic brand membuat daya tarik dalam peraturan dan prinsip-prinsipnya yang tegas. Ada banyak merek yang diterbitkan oleh organisasi-organisasi Islam yang sesuai dengan syariat islam. Batasan tertentu hukum syariah menciptakan posisi yang unik,  sehingga membantu mereka untuk membangun citra yang kuat dan reputasi menonjol dalam pasar yang kompetitif. Nilai-nilai universal yang dipromosikan oleh prinsip-prinsip syariat yaitu kepercayaan, kejujuran, kepastian, keadilan dan transparansi atas manfaat  produk, semuanya menjadi esensi dalam Islam brand. Kepatuhan syariah yang unik beserta atributnya (logo halal, kehalalan produk, keberadaan DPS, etika bisnis islam), bagi Islamic brand berpengaruh positif terhadap persepsi konsumen tentang kredibilitas dan penegasan identitas Islamic brand itu sendiri.



Daftar Pustaka

Adityanggara, Krishna. (2010). Membangun Perusahaan Islam dengan Manajemen Budaya Perusahaan Islami. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Chariri, Charles. (2012). Analisis Pengaruh Islamic Corporate Governance Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (Studi Kasus Pada Bank Syariah Di Asia), Diponegoro Journal Of Accounting Halaman 1-15.
Farook, S, Z, dan Lanis, R (2005). Banking On Islam? Determinants of CSR Disclosure. International Conference on Islamic Economics and Finance.
Fatema, Mohsina. (2013).  Shari’a Compliance in Building Identified Islamic Brands,  On Journal  EJBM-Special Issue: Islamic Management and Business ISSN 2222-1719 (Paper) ISSN 2222-2863 (Online) Vol.5 No.1. www.iiste.org
Haniffa, Roszaini dan Mohammad Hudaib. (2007).  Exploring the Ethical Identity of Islamic Banks via Communication in Annual Reports. on Journal of Business Ethics 76:97–116 _ Springer 2007 DOI 10.1007/s10551-006-9272-5.
















1 comment:

  1. Maaf, tapi anda hanya menerjemahkan jurnal internasional berjudul sama karangan Mohsina Fatema
    Assistant Professor in Marketing,
    Department of Business Administration,
    International Islamic University Chittagong, Dhaka Campus. harap tidak mempublikasikan tulisan ilmiah ini atas nama anda. Allah knows, while you"re not knowing....

    ReplyDelete

Leave a Reply