Fungsi dan Peran DPS dalam perbankan syariah sangat berhubungan
kuat dengan manajemen resiko perbankan syariah, yaitu resiko reputasi,
yang memungkinkan adanya dampak pada resiko lainnya, seperti resiko
likuiditas. Pelanggaran syariah complience yang dibiarkan DPS atau
luput dari pengawasan DPS, jelas akan merusak citra dan kredibilitas
bank syariah di mata masyarakat, sehingga dapat menurunkan kepercayaan
masyarakat kepada bank syariah yang bersangkutan.Untuk itulah peran DPS
di bank syariah harus benar-benar dioptimalkan, kualifikasi menjadi DPS
harus diperketat, dan formalisasi perannya harus diwujudkan di bank
syariah tersebut.
Peranan Dewan Pengawas Syari’ah sangat strategis dalam penerapan
prinsip syariah di lembaga perbankan syariah. Menurut Surat Keputusan
DSN MUI No.Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI Masa
Bhakti Th. 2000-2005 bahwa DSN memberikan tugas kepada DPS untuk :
(1) Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah,
(2) Mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN
(3) Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan
syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam
satu tahun anggaran
(4) Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan DSN.
Untuk menjalankan tugas-tugas tersebut, seorang DPH haruslah memenuhi
kualifikasi tertentu. Bukan kanya orang yang mengerti ilmu keuangan
perbankan namun juga tidak hanya mengerti hokum syar’I seperti ulama dan
cendekia muslim pada umumnya. Dengan demikian, seorang DPS harus
mengerti dan memahami ekonomi dan sistem perbankan secara hukum, juga
hukum-hukum financial melaui berbagai fatwa Syariah.
Namun fakta di lapangan ditemukan bahwa pengangkatan DPS bukan
didasarkan pada keilmuannya, maka sudah bisa dipastikan, fungsi
pengawasan DPS tidak optimal, akibatnya penyimpangan dan praktek syariah
menjadi hal yang mungkin dan sering terjadi.
Harus diakui, bahwa perbankan syariah sangat rentan terhadap
kesalahan-kesalahan yang bersifat syar’i. Tuntutan target, tingkat
keuntungan yang lebih baik, serta penilaian kinerja pada setiap cabang
bank syari’ah, yang masih dominan didasarkan atas kinerja keuangan,
akan dapat mendorong kacab dan praktisi untuk melanggar ketentuan
syari’ah. Hal ini akan semakin rentan terjadi pada bank syari’ah dengan
tingkat pengawasan syariah yang rendah. Oleh karenanya, tidak heran,
jika masih banyak ditemukannya pelanggaran aspek syari’ah yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga perbankan syariah, khususnya perbankan
yang konversi ke syariah atau membuka unit usaha syariah.
Yang juga mengherankan lagi adalah, sering kali kasus-kasus yang
menyimpang dari syariah Islam di bank syari’ah, lebih dahulu diketahui
oleh Bank Indonesia daripada oleh DPS, sehingga DPS baru mengetahui
adanya penyimpangan syari’ah setelah mendapat informasi dari Bank
Indonesia. Demikianlah lemahnya pengawasan DPS di bank-bank syari’ah.
Bank syariah harus menyadari bila mereka sering mengabaikan kepatuhan
prinsip syariah, mereka akan menghadapi risiko reputasi
(reputation-risk) yang bermuara pada kekecewaan masyarakat dan sekaligus
merusak citra lembaga perbankan syari’ah.
Bank Indonesia selalu menyampaikan banyaknya indikasi pelanggaran
syari’ah yang dilakukan oleh lembaga perbankan syari’ah dalam praktek
operasionalnya. (Bisnis Indonesia, 12/2/04). Deputi Gubernur Bank
Indonesia Maulana Ibrahim mengatakan, “Dari indikator pengawasan dan
pemeriksaan yang dilaporkan Bank Indonesia, masih ditemui berbagai
sistem operasional bank syariah yang belum sesuai dengan prinsip
kepatuhan pada nilai-nilai syariah,” . Hal itu diungkapkannya dalam seminar bertajuk Prospek Perbankan Syariah Pasca-Fatwa MUI, di Jakarta, 10 Pebruari 2004.
Melihat fenomena tidak syari’ahnya bank syari’ah tersebut,
sampai-sampai Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo),
Wahyu Dwi Agung mengatakan Bank Indonesia seharusnya segera meluruskan
pihak manajemen bank syariah terkait. (Bisnis Indonesia, 12/2/04)
Peringatan serupa kembali disampaikan Maulana Ibrahim, dalam
Simposium Nasional Ekonomi Islami di Malang yang langsung saya hadiri.
Deputi Gubernur BI itu dalam orasinya ia menuliskan,” Sejak dini Dewan
Pengawas Syari’ah (DPS) dan pengawas bank syari’ah, harus meluruskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bank syari’ah. Hal ini
penting agar bank syari’ah tidak menjadi bank yang bermasalah. Khusus
terhadap prinsip-prinsip syari’ah, bankir syari’ah harus sepenuhnya
konsisten terhadap penerapan prinsip-prinsip syari’ah, karena umumnya di
dunia ini kegagalan bank syari’ah dapat terjadi, karena
ketidak-konsistenan dalam menjalankan prinsip syari’ah”.(28/5/05)
Maulana Ibrahim selanjutnya mengatakan, bahwa peran DPS sangat
menentukan dalam mengawasi operasi bank syari’ah agar tetap memenuhi
prinsip-prinsip syari’ah. DPS harus secara aktif dan rutin melakukan
pengawasan terhadap bank syari’ah.
Secara kasat mata dan dari beberapa diskusi yang dilakukan dengan
beberapa praktisi perbankan syariah didapatkan kesimpulan bahwa, tugas
dan fungsi yang telah di atur oleh DSN tersebut belum berjalan
sebagaimana mestinya. Terkadang ada DPS yang mengunjungi Bank Syariah
hanya satu kali dalam sebulan, ada juga yang hanya bisa dihubungi via
telepon. Karena kesibukan mereka di dunia luar, fungsi-fungsi yang
harusnya dijalankan tidak bisa dilaksanakan.
DPS hanya dijadikan sebagai objek pelengkap pada sebuah institusi
perbankan syariah sehingga struktur yang telah ada bisa terisi dengan
baik. Jika hal ini terus dibiarkan, mau dibawa kemana industri perbankan
syariah ini kedepan?.
DPS malas-malasan menerapkan tugas dan fungsinya, sedangkan manajemen
bank juga tidak memaksimalkan peran dari DPS. Saya pernah berpikiran
cukup ekstrim dengan peran DPS ini, “Apakah honor yang mereka terima
dari Bank Syariah bisa mereka ambil walaupun tidak melakukan tugas
dengan benar, atau bisa dikatakan mereka memakan gaji buta saja”. Dengan
pemahaman tentang agama yang cukup komprehensif seharusnya para DPS
bisa mengilhami “Bayarlah upah sebelum keringat tersebut mengering”,
apakah mereka pernah mengeluarkan keringat dengan pekerjaan mereka
tersebut? (Honor seorang DPS cukup besar, karena posisinya yang berada
setara dengan fungsi Komisaris ataupun Dewan Pengawas Bank)
Selain masalah tugas dan peran, DPS juga mempunyai tanggung jawab dan
komitmen untuk mengembangkan keuangan syariah tersebut dalam artian
luas, baik untuk Bank Syariah yang mereka awasi dan juga untuk
pengembangan ekonomi syariah di daerah tersebut.
Sehingga bisa dikatakan bahwa, DPS yang menjabat di sebuah Bank
Syariah (yang pada umumnya adalah ulama) minimal menyampaikan
materi-materi keuangan syariah dalam setiap dakwah dan pengajian yang
dilakukannya. Tapi apa yang terjadi, dari pantauan saya dan beberapa
informasi dari rekan-rekan dilapangan, ternyata masih banyak DPS yang
kurang menjajakan produk syariah sebagai salah satu jargon dakwahnya.
Kondisi yang terjadi saat ini, kalau ada Lembaga Keuangan Syariah
(LKS) yang baru berdiri, untuk pemilihan DPSnya pastilah akan merujuk
kepada daftar Anggota MUI ataupun Buya-buya Kondang di daerahnya. Apakah
hanya itu referensi yang bisa dipakai untuk mencari orang-orang yang
akan mengawasi operasional LKS. Saya pikir masih banyak orang-orang yang
konsen dengan ekonomi syariah dan benar-benar komit untuk mengembangkan
hal tersebut. Akan tetapi mereka dibatasi gerak karena mereka bukanlah
seorang ulama atau buya kondang.
Penulis pernah berdiskusi dengan beberapa orang akademisi yang sering
menjadi narasumber pada materi yang berkaitan dengan keuangan syariah.
Mereka terkadang miris melihat kondisi Perbankan Syariah yang terkesan
berjalan tanpa bimbingan maksimal dari DPS, sehingga ada kondisi try and
error yang dilakukan guna membentuk sebuah inovasi baru dalam hal
dagangan syariah.
Dewan Syariah Nasional sudah seharusnya menertibkan DPS-nya, jangan
hanya bisa mengeluarkan Fatwa tapi juga bisa menertibkan orang-orang
yang telah mereka tunjuk dan mereka beri sertifikasi sebagai
perpanjangan tangannya. Sudah sepatutnya DSN dan DPS berangkulan tangan
dengan manajemen Bank Syariah guna menggerakkan perekonomian berbasis
Syariah dengan lebih sinergy dan kerjasama yang lebih baik serta kompak.
Perbankan Syariah jangan dijadikan barang jualan, jangan
dipolitisasi, dan jangan hanya jadi kebutuhan agama. Akan tetapi
jadikanlah Perbankan Syariah sebagai solusi tepat untuk membangun sistem
keuangan yang lebih komprehensif dan sebagai sistem keuangan yang bisa
memperbaiki kemerosotan perekonomian makro yang ada di Indonesia.
Sebagaimana disebut di atas, bahwa DPS harus menguasai fiqh mumalah
bersama perangkatnya (ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, tafsir dan hadits
ekonomi), juga harus menguasai ilmu ekonomi keuangan dan perbankan Islam
modern. Tapi kenyataannnya persyaratan tersebut sangat sulit
diwujudkan, karena kita kekurangan ulama yang memahami kedua disiplin
keilmuan tersebut sekaligus.
Fenomena itu tidak saja di Indonesia, tetapi juga di luar negeri.
Majid Dawood, CEO Yasaar, sebuah lembaga konsultasi untuk DPS, juga
mengakui terjadi kekurangan jumlah ulama yang memahami fikih muamalah
dan ekonomi keuangan modern. Seorang DPS bank syariah misalnya, harus
mengetahui konsep dan mekanisme operasional perbankan syari’ah, struktur
dan terminologi bank dan LKS, legal documentation, mengatahui
dasar-dasar akuntansi sehingga bisa membaca laporan keuangan, dan tentu
saja pemahaman yang baik tentang fikih muamalah.
Karena itu Yasaar sebagai lembaga yang khusus menangani shariah board
mulai merekrut ulama muda potensial yang menguasai ilmu ekonomi,
keuangan. Dengan ilmu yang integral tersebut pengawasan bisa lebih
optimal dan mereka bisa merumuskan, menetapkan serta pembuatan fatwa
hukum ekonomi syari’ah.
Di Indonesia, ulama muda potensial dapat direkrut di program Doktor
Ekonomi Ekonomi Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di berbagai
Perguruan Tinggi. Keunggulan mereka ini adalah dikarenakan mereka
memiliki dua keahlian keilmuan sekaligus, yaitu pertama, fiqih mumalah,
ushul fiqh, qawaid fiqh serta ayat dan hadits ekonomi dan kedua, mereka
juga mengerti tentang praktek perbankan dan LKS yang disertai bekal
ilmu ekonomi keuangan modern, sehingga mereka bisa melakukan pengawasan
dengan baik, bukan sekedar pajangan kharisma.
No comments:
Post a Comment
Leave a Reply